Taglinedan sejenisnya memang dibuat untuk menarik minat calon konsumen membeli sebuah produk. Lihat saja beberapa tagline yang sungguh menggiurkan ini: don’t worry, be happy, always listening, always understanding,
 mengatasi masalah tanpa masalah, anda telepon kami antar, pelayanan 24 
jam non-stop, telepon putus kami ganti, dan seterusnya. Masih banyak 
lagi. Jika berjalan sesuai ‘janji’ mungkin tidak akan ada keluhan yang 
bejibun di kolom surat pembaca berbagai media cetak juga elektronik, 
belakangan termasuk di media sosial twitter dan facebook.
 Pelanggan berteriak dan meminta perhatian. Suara itu terkadang tidak 
jelas didengar atau tidak. Jika didengar pun belum tentu diberi atensi 
apalagi solusi.
Maritz Research melakukan survei secara online terhadap 1.298 konsumen di Amerika yang aktif di twitter. Mereka kerap membahas & mengeluh soal produk, brand,
 atau korporasi tertentu. Usia para konsumen yang disurvei ini minimal 
18 tahun. Dan, hasilnya mencengangkan. Harapan mereka bahwa keluhan di 
twitter itu mendapatkan tanggapan, berakhir sia-sia. Ini hasil 
surveinya. Setengah dari responden yang mengirimkan keluhan mengharapkan
 mendapatkan jawaban dari keluhan mereka di twitter. Sepertiga 
mendapatkan jawaban dari korporasi. Selebihnya tidak mendapatkan 
tanggapan atau notifikasi apa pun dari perusahaan yang mereka tuju. 
Pertanyaannya kemudian, lalu, untuk apa korporasi itu mengampanyekan 
pelayanan mereka di twitter dan akhirnya banyak yang harus menerima 
kenyataan kecewa? Sayang sekali biaya dan energi dihabiskan untuk 
mengajak masyarakat dengan tagline mentereng, namun pelayanan mencoreng citra korporasi.
Sebenarnya, tidaklah terlalu susah untuk membuat pelanggan happy dengan pelayanan perusahaan. Siapkan divisi khusus yang sangat personal untuk menangani complaint
 para pelanggan. Ingat mereka adalah donor terbesar pundi-pundi profit 
korporasi! Divisi ini harus benar-benar dilatih menangani setiap keluhan
 dengan sabar dan tenang. Buat daftar FAQ (frequently asked questions).
 Kembangkan di lapangan. Ketika konsumen sedang panik, jangan berikan 
pertanyaan ribet dan ruwet. Pertolongan segera dilakukan jika hal itu 
memang darurat. Jangan mempersulit. Ini bahaya. Begitu dipersulit, 
keluhan pun muncul di media umum. Ini bukan promosi. Ini kampanye 
negatif. Kemudian, hal yang tidak kalah pentingnya adalah petugas di 
divisi complaint ini juga harus mengerti bahwa pelanggan tidak 
menuntut lebih. Mereka hanya menagih janji sesuai bunyi slogan yang ada.
 Jadi wajar, jika ada konsumen yang bilang ‘katanya siap 24 jam, kok alasannya tidak ada petugas karena sudah tengah malam?’
 Jika sudah demikian, layakkah konsumen disalahkan? Tidak! Karena mereka
 membeli produk dan jasa disebabkan tergiur dengan kemudahan dan 
kecepatan pelayanan. Berikutnya, petugas divisi pelayanan keluhan ini 
juga harus menyadari bahwa complaint rata-rata dilakukan dengan
 nada tinggi disertai emosi yang tidak terkendali. Tarik napas dan 
tenangkan diri. Tidak boleh ikut emosi, apalagi balik memaki. Karena 
konsumen bukan memarahi anda, tetapi pelayanan yang tidak sesuai dengan 
standar yang sudah disepakati sebelumnya. Jadi, harus dibedakan antara 
pribadi dan produk atau jasa yang dikeluhkan. Karena itu, tidak pantas, 
jika petugas di divisi ini ikut-ikutan marah tidak terkendali. Pihak 
korporasi harus mengawasi hal ini agar citra perusahaan tidak tercoreng 
oleh perilaku dan gaya komunikasi para petugas di divisi keluhan ini. 
Karenanya, pilihlah petugas di lini ini dengan sangat hati-hati. Tidak 
semua orang tahan dengan keluhan dan amarah, misalnya. Ujilah mereka 
saat penerimaan. Ada banyak instrumen untuk itu.
Jadikanlah konsumen pada posisi dan proporsinya yang sesuai. Mereka 
adalah donatur pundi-pundi korporasi yang layak mendapatkan pelayanan 
dan apresiasi tinggi. Jangan dustai mereka. Karena sekali tersakiti, 
sulit buatnya untuk pulih kembali. Hasil survei menunjukkan bahwa 
seorang pelanggan yang puas hanya akan menyampaikan kepada tiga orang 
dan yang tidak puas akan meneruskan dengan ‘bumbu-bumbunya’ kepada 3000 
orang! Waspadailah ini dan buatlah mereka positif dan percaya. Jangan 
sampai apatis dan mengatakan ‘don’t worry, no happy.’ 
Dikutip dari http://www.ponijanliaw.com/
(Dimuat di Harian Bisnis KONTAN, Sabtu, 29 Oktober 2011)
Oleh. Ponijan Liaw
Pelatih & Penulis Buku-buku Komunikasi
@PonijanLiaw & @Komunikatorno_1
Komentar
Posting Komentar